Sahabatku

Kamis, 10 November 2011

Ritus Awal Siklus Hidup Manusia Mandar




13039981611527996386
Dukun memandikan bayi (foto: M. Ridwan)
Tubuhnya masih merah dengan kulit tertutup cairan lengket. Tak tega menyaksikannya keluar dari perut ibunya, setelah beberapa jam tertahan di pintu lahir. Sebab lama tertahan di pinggul, bagian atas kepala tidak rata bulatnya, seperti ada tonjolan gumpalan daging di puncaknya.
Tak ada tangisan, wajah membiru. Sesaat setelah dokter yang memimpin proses melahirkan memotong ari-ari, salah satu bidan yunior (dan siswa sekolah perawatan yang lagi magang) dengan sigap membawa sang bayi ke ruang sebelah. Menyinarinya dengan lampu agar tubuh sang bayi hangat. Telapak kaki bayi dikitik-kitik agar bayi sadar. Belum.
Menyadari usaha awal tak membuat bayi sadar, kembali bayi dipindahkan ke ruang perawatan khusus bayi. Di dalam terdapat beberapa box untuk bayi yang prematur lahirnya. Tapi bayi yang baru beberapa menit berada di dunia itu tak dimasukkan, melainkan diletakkan di meja. Bidan lain tetap berusaha membuat bayi sadar, yang lain membantu menyiapkan oksigen dan alat hisap.
Alat hisap untuk mengeluarkan cairan yang menghalangi jalan pernafasan bayi, di hidungnya. Syut … syut … bunyi hisapan dari selang kecil yang dimasukkan ke hidung bayi. Sekejap kemudian, tanda-tanda kehidupan mulai tampak. Wajah yang mau menangis disusul bunyi tangis patah-patah. Masa krisis terlewati.
Itulah detik-detik maha menegangkan selama saya mengikuti perkembangan bayi, sejak di dalam perut sampai lahirnya, sampai upacara-upacara inisiasi yang dijalaninya.
Namanya Muhammad Nabigh Panritasagara. Kira-kira artinya “si cerdas yang memahami laut”. Lahir di RSU Majene, Sulawesi Barat, Kamis, 11 November 2010, menjelang Maghrib. Konon, bila lahir pada malam Jumat, anaknya akan bandel.
Menyaksikan untuk kemudian mendokumentasikan salah satu prosesi paling penting dalam siklus hidup orang Mandar secara lengkap amatlah jarang dan sulit. Pertama, untuk menyaksikan semua itu harus menembus batas-batas personal, memasuki kawasan paling pribadi seorang individu. Kedua, “satu set” upacara lengkap hanya dialami oleh anak pertama. Anak kedua, ketiga, dan berikutnya tidak menjalani beberapa ritual.
Ritual siklus hidup orang Mandar adalah salah satu upacara paling kuat dipertahankan, khususnya upacara sebelum dan sesudah kelahiran seorang anak. Di Mandar ada beberapa proses, tahapan, upacaranya.
Upacara-upacara di Mandar yang berkaitan dengan siklus hidup (kelahiran) adalah: “marroma” (memijat perut pada usia kehamilan 5-6 bulan); “manguriq” (memijat perut pada usia kehamilan 7-8 bulan); perawatan ari-ari, bayi, dan ibu yang habis melahirkan (memotong tali pusar, memandikan bayi dan ibunya, penanaman tali pusar); akekah (memotong hewan kurban dan memotong rambut bayi); “mappadaiq toyang” (menaikkan bayi ke atas ayunan); “pattuttuang ringe” (meratakan gigi anak); “mesunnaq” (khitanan, memotong kulup untuk anak laki2; melukai klitoris untuk anak perempuan); dan “papparassa” (menginjak tanah untuk pertama kali).

Marroma

“Marroma” adalah upacara formal pertama yang saya saksikan berkaitan kehamilan pertama seorang perempuan di Mandar. Arti harfiah “marroma” adalah menjemput. Jadi, sejak bayi berumur sekitar lima bulan, keluarga perempaun yang hamil mulai meminta bantua seorang “sando pianaq” (dukun beranak) untuk melakukan ritual-ritual yang berkaitan dengan keselamatan bayi, sejak dalam kandungan, saat melahirkan, sampai upacara terakhir yang harus dijalani seorang bayi. Proses di atas bisa berlangsung berbulan-bulan, dari upacara pertama sampai terakhir.
Pada kasus Nabigh, upacara “marroma” dilaksanakan pada Ahad, 1 Agustus 2010, saat usia kehamilan diyakini berada di bulan kelima. Proses upacara berlangsung sederhana, yaitu makan bersama di ruang tengah rumah. Pada upacara ini menu yang tampak disiapkan dan menjadi bagian dari prosesi ialah tujuh piring kecil “sokkol” di mana puncak “sokkol” terdapat satu butir telur ayam kampung. “Sokkol-sokkol” tersebut disimpan di baki besar.
Baki yang lain berisi pisang, yaitu “loka tiraq”, “loka manurung”, “loka balambang”, “…”. Baki terakhir, tampak sebagai bagian paling penting, terdapat satu sisir pisang “manurung” dan dua piring tua yang masing-masing diatasnya ditumpuk “sokkol”, lima “cucur”, dan satu butir telur ayam kampung. Sedang yang lain adalah makanan yang disantap saat makan bersama, seperti nasi, sayur, ayam, ikan, dan telur.
Prosesi upacara dimulai dengan doa bersama yang dipimpin kakek sang calon bayi diikuti nenek, sang wanita hamil bersama suaminya serta sang dukun. Setelah do’a yang memohon keselamatan, dilanjutkan dengan makan bersama.
Selesai makan, upacara inti dimulai dan berlangsung di dalam kamar. Baki yang berisi piring tua serta satu sisir pisang dibawa ke dalam kamar. Selain bahan tersebut, juga disiapkan di atas piring kecil beberapa sendok minyak kelapa.
Kemudian perempuan hamil dibaringkan di atas kasur. Pakaian yang menutup bagian perut dilepas. Sebelum memulai pijatan lembut, sang dukun membakar dupa. Asap dupa dia tangkap lalu diusapkan ke perut. Sesaat berikutnya, perut hamil pun diolesi minyak kelapa untuk kemudian melakukan beberapa pijatan yang bertujuan memperbaiki posisi bayi di dalam perut. Prosesnya tidak lama, tak sampai lima menit.
Setelah itu, piring tua yang berisi “sokkol”, “cucur” dan telur diletakkan di atas perut. Piring sesaat digoyang-goyang untuk kemudian dilepas. Disusul kemudian piring yang diatasnya terdapat pisang juga diletakkan di atas perut. Gerakan yang sama dilakukan.
Sesaat setelah rangkaian di atas selesai, sang dukun meminta “anak sando-nya” (‘anak dukun’, artinya pasien) untuk segera keluar kamar agar bisa segera meludah. Upacara pun selesai.

Manguriq

Upacara berikutnya ialah “manguriq”, berlangsung pada 19 September 2010. Upacaranya lebih besar dibanding “marroma”, dihadiri keluarga besar kedua orangtua calon bayi beserta orang-orang yang diundang. Dalam adat Mandar, “manguriq” adalah upacara yang keterlibatan pihak keluarga besar laki-laki sangat dibutuhkan. Dengan kata lain, biaya upacara dan perangkat-perangkat yang digunakan sebagian disiapkan keluarga laki-laki (bapak bayi).
Upacara diawali dengan pembacaan barazanji. Acara ini hanya dihadiri pemuka agama dan pihak lain yang diundang keluarga perempuan. Selesai pembacaan barazanji dan do’a dilanjutkan dengan makan bersama.
Setelah itu proses bernuansa adat Mandar dimulai. Bertempat di ruang tamu, rombongan keluarga besar laki-laki menyerahkan ke keluarga besar perempuan perlengkapan upacara berupa beragam jenis makanan .
Empat baki yang terbuat dari “gallang” (logam kuningan) dan mempunyai penutup berisi: 1) “ranggina”, “talloq panynyu”, “apang”, “onde-onde”, “buah rangas”, “bayeq”, “kolli-kolli”; 2) roti “bolu” dan “baruas”; 3) “buwuqus”, “tetuq”, “gogos”, “telur dadar”; dan 4) “buah rangas” (roti kering berbentuk induk ayam dan anak-anaknya).
Adapun di atas baki biasa yang lebih lebar diameter tapi tanpa penutup terdiri dari: 1) “gogos”, “atupeq”, “buras”, “sokkol”,… ; 2) buah-buahan: semangka, pandan, salak, jeruk, “loka-loka”, apel, kurma; 3) dan “lame-lame” (ubi kayu), dan “boyoq”.
Bahan lain tanpa wadah ialah pisang dua tandan, kelapa satu tandan, “burabeq” (bunga bakal buah kelapa).
Setelah itu, prosesi upacara dimulai di dalam kamar. Di dalam kamar terdapat bahan ritual antara lain “undung” (pedupaan); satu baki yang berisi tujuh piring “sokkol” dengan bagian atas masing-masing terdapat satu butir telur ayam kampung; satu baki berisi tiga sisir pisang “manurung”, “tiraq”, dan “barangang”; dan satu baki berisi lauk makanan: telur itik rebus, sambal goreng, gulai ayam, dan “pupuq”.
Selain itu, ada dua “pindang matoa” (piring tua) yang nantinya akan menjadi alat utama dalam acara “manguriq”. Masing-masing di atas piring terdapat 1) “cucur”, “sokkol”, “gogos”, telur, “buras”, dan “kaddo minynyaq”; 2) pisang “barangang”.
Bertempat di atas tempat tidur, dukun duduk di samping kanan perempuan hamil yang berbaring sambil menekuk lutut. Sang perempuan mengenakan pakaian adat Mandar dan sarung sutra. Di bawah tubuh perempuan terdapat selendang kain berwarna hijau dan putih yang didalamnya terdapat beberapa jenis tanaman/daun-daun.
Kemudian dukun membakar dupa. Pedupaan lalu diputar-putar beberapa senti di atas perut. Pedupaan diletakkan di sisinya untuk selanjutnya menangkap asap dupa lalu diusap ke perut perempuan hamil.
Selanjutnya, “pammenangan” yang di atasnya terdapat tujuh lilin yang ditanam di atas tumpukan beras diputar-putar di atas perut lalu disentuhkan ke perut perempuan hamil. “Pammenangan” diletakkan, mengambil sedikit beras yang ada didalamnya lalu disemburkan ke atas perut perempuan hamil.
Setelah itu, “pindang matoa” yang berisi makanan “manis dan berlemak” diletakkan ke perut hamil. Piring digoyang-goyang sesaat dan dilepaskan. Sebab “bayi menahan” piring, kadang kala piring tak bisa dilepaskan/diangkat. Agar piring bisa lepas, “si bayi dibujuk” dengan cincin emas. Cincin emas dimasukkan ke dalam piring. Entah itu sebabnya atau bukan, piring langsung bisa dilepas. Setelah itu piring tua berikutnya, yang berisi pisang, juga diletakkan di atas perut. Prosesnya sama.
Saat proses inti di atas selesai, dukun kembali mengambil beras lalu ditabur di atas kepala perempuan. Kemudian mengolesi keningnya dengan minya kelapa yang terdapat di piring kecil, yang mana di dalam piring tersebut terdapat satu butir telur ayam kampung.
Minyak juga diolesi ke perut perempuan hamil. Pemijatan lembut kemudian dilakukan, dengan memberi tekanan-tekanan tertentu di sekeliling perut.
Dukun kemudian mempersilahkan kerabat perempuan hamil dan mertuanya (ibu laki-laki) untuk menyetuh perut dan mendoakan agar ibu dan bayinya sehat dan selamat saat melahirkan nanti.
Setelah itu, dukun melanjutkan tugasnya dengan menaburkan beras ke kepala dan perut peremuan. Seekora ayam hitam “remaja” diambil lalu diarahkan ke kepala dan perut agar mematuk beras. Saat ayam selesai mematuk beras, tahap ini selesai.
Dilanjutkan dengan tahap berikut, ujung selendang yang berada di bawah tubuh perempuan hamil dipertemukan di atas perut untuk selanjutnya ditarik-tarik, seolah-olah memperbaiki posisi bayi di dalam kandungan.
Ketika proses di atas selesai, sang perempuan hamil diminta segera bangun untuk meniup api lilin di atas “pammenangan”. Setelah itu menuju teras.
Di teras, dukun mengambil air dari baskom yang berisi ramu-ramuan untuk kemudian dimasukkan ke dalam mulut sang perempuan hamil. Berkumur-kumur sebentar untuk kemudian dimuntahkan keluar.
Bersama suaminya, perempuan hamil kembali ke ruang tamu, di mana hidangan makanan yang dibawa rombongan keluarga besar laki-laki dihidangkan, khususnya yang berada di atas baki kuningan. Selain baki kuningan yang isinya telah disebutkan sebelumnya di atas, ada baki lebih kecil yang berada di atas “kappaq keqde” (baki berdiri, atau ada kaki penyangganya), isinya “buah rangas”, yaitu satu roti besar berbentuk ayam yang dikelilingi beberapa roti lebih kecil. Tampaknya itu menyimbolkan anak-anak ayam.
Kepada mereka berdua dipersilahkan untuk memilih makanan yang paling disukai. Saat itu, dipilih kurma dan apel. Juga, memakan “buah rangas”. Setelah suami-isteri mengambil makanan pilihannya, peserta upacara dipersilahkan untuk ikut menyantap.
Sang perempuan hamil kembali ke dalam kamar untuk melanjutkan proses upacara, yaitu “macceraq” (“ceraq” = darah). Oleh sang dukun, dia mengambil ayam yang dia gunakan tadi saat upacara pijatan untuk kemudian membuat luka di jengger ayam. Beberapa tetes darahnya dicampur dengan serbuk kapur di atas piring kecil. Setelah diaduk atau terbentuk sebuah adonan, adonan tadi dioleskan ke kening dan leher wanita hamil. Istilahnya “maccoqbo”. Tampak sang dukun juga mengolesi keningnya dengan adonan tadi.
Setelah tamu-tamu pulang, perempuan hamil dimandikan di teras rumah. Bahan mandi berupa air satu baskom yang didalamnya terdapat “burabeq anjoro” (bunga bakal buah kelapa), irisan-irisan daun pandan, dan “lopi-lopi” (bagian di atas pohon kelapa yang berbentuk perahu).
Saat dimandikan oleh sando, perempuan hamil duduk di atas satu tandan buah kelapa. Didekatnya terdapat dua tandan pisang. Prosesi mandi dilakukan selama tiga hari yang berlangsung pagi hari, sekitar jam delapan yang dipimpin dukun beranak. Bahan mandi tetap sama, hanya dilakukan penambahan air sesaat sebelum kegiatan mandi dilakukan. Sebelum mandi, juga dilakukan proses “manguriq” sebagaimana yang dilakukan seperti pada hari pertama.
Sebab masih ada ritual di hari kedua (20 September) dan ketiga (21 September), beberapa bahan makanan dan ritual tidak boleh dipindahkan dari tempat upacara, seperti piring tua di dalam kamar serta isinya (beberapa jenis makanan). Nanti setelah upacara selesai baru bisa dikeluarkan atau dihabiskan (dimakan).
Ritual di hari kedua dan ketiga tidak ramai lagi, hanya dihadiri oleh dukun, perempuan hamil, ibunya, beserta suami sang perempuan hamil. Juga tak ada upacara makan-makan, hanya proses “manguriq” dan mandi di teras.
Bila semua proses mandi selesai, “burabeq” kemudian digantung di plafon teras rumah. Bagian ini dibiarkan terus. Nanti bisa dilepaskan ketika bayi yang lahir nanti sudah mulai belajar berjalan. Tapi kalau mau dibiarkan/dipasang terus, juga tak apa-apa.

Melahirkan

Kamis, 11 November 2010, dinihari, sekitar jam dua. Darah keluar, menetes di paha. Tanda-tanda akan melahirkan pada sang ibu hamil yang “diuriq” dua bulan lalu. Sebab berbagai alasan, lebih memilih melahirkan di rumah sakit dibanding di rumah oleh bantuan dukun beranak.
Salah satunya, sang ibu kecil tubuhnya. Tinggi kurang 155cm, pinggul kecil, dan hamil pertama. Khawatir kalau ada apa-apa, misalnya butuh darah atau sulit untuk melahirkan. Kesimpulannya, pada momen terpenting, bukan tenaga dukun yang dibutuhkan, tapi medis (modern). Atas masukan dari bidan, yang datang sesaat setelah diinformasikan padanya bahwa ada tanda melahirkan, sang calon ibu dibawa ke Rumah Sakit Umum Majene. Bidan mengantar langsung bersama suaminya yang kebetulan punya mobil.
Singkat kata, proses persiapan melahirkan hingga pasca persalinan (total empat hari), tak ada dukungan dari dukun beranak.
Memang beberapa jam setelah bayi dilahirkan, oleh sang ibu perempuan hamil, mengirim potongan ari-ari ke Pambusuang agar bisa segera ditangani oleh sang dukun. Saat tiba di Pambusuang, ari-ari dimasukkan ke dalam panci beserta garam dan … Katanya, baru akan ditanam kalau bayi telah balik ke rumahnya; setelah terpotong sisa ari-ari di tali pusarnya.
Sehari setelah balik dari rumah sakit, Ahad, 16 November 2010, dukun beranak datang ke rumah “anaq sando-nya” (pasien) untuk melanjutkan tugasnya, yaitu memandikan bayi dan ibunya selama tiga hari berturut-turut. Idealnya mulai dimandikan sehari setelah melahirkan, tapi karena lama di rumah sakit, proses awal dimandikan baru dimulai lima hari kemudian.
Bayi dimandikan di atas lutut sang dukun, yang dilentangkan ke depan. Di bagian bawah terdapat baki penampung air. Bayi berbaring menghadap ke atas. Sang dukun melakukan pijatan-pijatan lembut ke tubuh bayi, seperti perut, wajah, kepala, leher, gusi (mulut), lengan, dan kaki. Setelah bayi, giliran ibu yang dimandikan dan memberi pijatan pada perutnya.
Selesai melakukan ritus kepada bayi dan ibunya selama tiga hari, sang dukun kembali lagi datang setelah potongan tali pusar terlepas dari perut bayi, tepatnya 21 November 2010. Dukun melakukan ritual penanaman potongan ari-ari bayi (yang dibawa dari rumah sakit sesaat setelah bayi dilahirkan). Potongan tersebut disimpan dalam panci tanah.
Panci ditanam di samping rumah (sebab rumah perempuan yang habis melahirkan tak ada kolong rumah). Setelah itu diadakan “baca-baca” di ruang tengah. Dihidangkan beberapa makanan, khususnya “loka tiraq” (pisang ambon).
Setelah itu, diadakan pembakaran dupa di dalam kamar bayi. Sebab sang bayi akan dinaikkan ke ayunan untuk pertama kali, dukun melakukan ritual. Ayunan dia asapi dengan dupa setelah itu sang bayi dinaikkan.
Adapun potongan ari-ari (kering) yang baru lepas dari pusar bayi, disimpan oleh “anak sando”, sebagai obat bila suatu saat sang bayi sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar