Dukun memandikan bayi (foto: M. Ridwan)
Tubuhnya masih merah dengan kulit tertutup cairan
lengket. Tak tega menyaksikannya keluar dari perut ibunya, setelah
beberapa jam tertahan di pintu lahir. Sebab lama tertahan di pinggul,
bagian atas kepala tidak rata bulatnya, seperti ada tonjolan gumpalan
daging di puncaknya.
Tak ada tangisan, wajah membiru. Sesaat setelah dokter
yang memimpin proses melahirkan memotong ari-ari, salah satu bidan
yunior (dan siswa sekolah perawatan yang lagi magang) dengan sigap
membawa sang bayi ke ruang sebelah. Menyinarinya dengan lampu agar tubuh
sang bayi hangat. Telapak kaki bayi dikitik-kitik agar bayi sadar.
Belum.
Menyadari usaha awal tak membuat bayi sadar, kembali
bayi dipindahkan ke ruang perawatan khusus bayi. Di dalam terdapat
beberapa box untuk bayi yang prematur lahirnya. Tapi bayi yang baru
beberapa menit berada di dunia itu tak dimasukkan, melainkan diletakkan
di meja. Bidan lain tetap berusaha membuat bayi sadar, yang lain
membantu menyiapkan oksigen dan alat hisap.
Alat hisap untuk mengeluarkan cairan yang menghalangi
jalan pernafasan bayi, di hidungnya. Syut … syut … bunyi hisapan dari
selang kecil yang dimasukkan ke hidung bayi. Sekejap kemudian,
tanda-tanda kehidupan mulai tampak. Wajah yang mau menangis disusul
bunyi tangis patah-patah. Masa krisis terlewati.
Itulah detik-detik maha menegangkan selama saya
mengikuti perkembangan bayi, sejak di dalam perut sampai lahirnya,
sampai upacara-upacara inisiasi yang dijalaninya.
Namanya Muhammad Nabigh Panritasagara. Kira-kira
artinya “si cerdas yang memahami laut”. Lahir di RSU Majene, Sulawesi
Barat, Kamis, 11 November 2010, menjelang Maghrib. Konon, bila lahir
pada malam Jumat, anaknya akan bandel.
Menyaksikan untuk kemudian mendokumentasikan salah
satu prosesi paling penting dalam siklus hidup orang Mandar secara
lengkap amatlah jarang dan sulit. Pertama, untuk menyaksikan semua itu
harus menembus batas-batas personal, memasuki kawasan paling pribadi
seorang individu. Kedua, “satu set” upacara lengkap hanya dialami oleh
anak pertama. Anak kedua, ketiga, dan berikutnya tidak menjalani
beberapa ritual.
Ritual siklus hidup orang Mandar adalah salah satu
upacara paling kuat dipertahankan, khususnya upacara sebelum dan sesudah
kelahiran seorang anak. Di Mandar ada beberapa proses, tahapan,
upacaranya.
Upacara-upacara di Mandar yang berkaitan dengan siklus
hidup (kelahiran) adalah: “marroma” (memijat perut pada usia kehamilan
5-6 bulan); “manguriq” (memijat perut pada usia kehamilan 7-8 bulan);
perawatan ari-ari, bayi, dan ibu yang habis melahirkan (memotong tali
pusar, memandikan bayi dan ibunya, penanaman tali pusar); akekah
(memotong hewan kurban dan memotong rambut bayi); “mappadaiq toyang”
(menaikkan bayi ke atas ayunan); “pattuttuang ringe” (meratakan gigi
anak); “mesunnaq” (khitanan, memotong kulup untuk anak
laki2; melukai klitoris untuk anak perempuan); dan “papparassa”
(menginjak tanah untuk pertama kali).
Marroma
“Marroma” adalah upacara formal pertama yang saya
saksikan berkaitan kehamilan pertama seorang perempuan di Mandar. Arti
harfiah “marroma” adalah menjemput. Jadi, sejak bayi berumur sekitar
lima bulan, keluarga perempaun yang hamil mulai meminta bantua seorang
“sando pianaq” (dukun beranak) untuk melakukan ritual-ritual yang
berkaitan dengan keselamatan bayi, sejak dalam kandungan, saat
melahirkan, sampai upacara terakhir yang harus dijalani seorang bayi.
Proses di atas bisa berlangsung berbulan-bulan, dari upacara pertama
sampai terakhir.
Pada kasus Nabigh, upacara “marroma” dilaksanakan pada
Ahad, 1 Agustus 2010, saat usia kehamilan diyakini berada di bulan
kelima. Proses upacara berlangsung sederhana, yaitu makan bersama di
ruang tengah rumah. Pada upacara ini menu yang tampak disiapkan dan
menjadi bagian dari prosesi ialah tujuh piring kecil “sokkol” di mana
puncak “sokkol” terdapat satu butir telur ayam kampung. “Sokkol-sokkol”
tersebut disimpan di baki besar.
Baki yang lain berisi pisang, yaitu “loka tiraq”,
“loka manurung”, “loka balambang”, “…”. Baki terakhir, tampak sebagai
bagian paling penting, terdapat satu sisir pisang “manurung” dan dua
piring tua yang masing-masing diatasnya ditumpuk “sokkol”, lima “cucur”,
dan satu butir telur ayam kampung. Sedang yang lain adalah makanan yang
disantap saat makan bersama, seperti nasi, sayur, ayam, ikan, dan
telur.
Prosesi upacara dimulai dengan doa bersama yang
dipimpin kakek sang calon bayi diikuti nenek, sang wanita hamil bersama
suaminya serta sang dukun. Setelah do’a yang memohon keselamatan,
dilanjutkan dengan makan bersama.
Selesai makan, upacara inti dimulai dan berlangsung di
dalam kamar. Baki yang berisi piring tua serta satu sisir pisang dibawa
ke dalam kamar. Selain bahan tersebut, juga disiapkan di atas piring
kecil beberapa sendok minyak kelapa.
Kemudian perempuan hamil dibaringkan di atas kasur.
Pakaian yang menutup bagian perut dilepas. Sebelum memulai pijatan
lembut, sang dukun membakar dupa. Asap dupa dia tangkap lalu diusapkan
ke perut. Sesaat berikutnya, perut hamil pun diolesi minyak kelapa untuk
kemudian melakukan beberapa pijatan yang bertujuan memperbaiki posisi
bayi di dalam perut. Prosesnya tidak lama, tak sampai lima menit.
Setelah itu, piring tua yang berisi “sokkol”, “cucur”
dan telur diletakkan di atas perut. Piring sesaat digoyang-goyang untuk
kemudian dilepas. Disusul kemudian piring yang diatasnya terdapat pisang
juga diletakkan di atas perut. Gerakan yang sama dilakukan.
Sesaat setelah rangkaian di atas selesai, sang dukun
meminta “anak sando-nya” (‘anak dukun’, artinya pasien) untuk segera
keluar kamar agar bisa segera meludah. Upacara pun selesai.
Manguriq
Upacara berikutnya ialah “manguriq”, berlangsung pada
19 September 2010. Upacaranya lebih besar dibanding “marroma”, dihadiri
keluarga besar kedua orangtua calon bayi beserta orang-orang yang
diundang. Dalam adat Mandar, “manguriq” adalah upacara yang keterlibatan
pihak keluarga besar laki-laki sangat dibutuhkan. Dengan kata lain,
biaya upacara dan perangkat-perangkat yang digunakan sebagian disiapkan
keluarga laki-laki (bapak bayi).
Upacara diawali dengan pembacaan barazanji. Acara ini
hanya dihadiri pemuka agama dan pihak lain yang diundang keluarga
perempuan. Selesai pembacaan barazanji dan do’a dilanjutkan dengan makan
bersama.
Setelah itu proses bernuansa adat Mandar dimulai.
Bertempat di ruang tamu, rombongan keluarga besar laki-laki menyerahkan
ke keluarga besar perempuan perlengkapan upacara berupa beragam jenis
makanan .
Empat baki yang terbuat dari “gallang” (logam
kuningan) dan mempunyai penutup berisi: 1) “ranggina”, “talloq panynyu”,
“apang”, “onde-onde”, “buah rangas”, “bayeq”, “kolli-kolli”; 2) roti
“bolu” dan “baruas”; 3) “buwuqus”, “tetuq”, “gogos”, “telur dadar”; dan
4) “buah rangas” (roti kering berbentuk induk ayam dan anak-anaknya).
Adapun di atas baki biasa yang lebih lebar diameter
tapi tanpa penutup terdiri dari: 1) “gogos”, “atupeq”, “buras”,
“sokkol”,… ; 2) buah-buahan: semangka, pandan, salak, jeruk,
“loka-loka”, apel, kurma; 3) dan “lame-lame” (ubi kayu), dan “boyoq”.
Bahan lain tanpa wadah ialah pisang dua tandan, kelapa satu tandan, “burabeq” (bunga bakal buah kelapa).
Setelah itu, prosesi upacara dimulai di dalam kamar.
Di dalam kamar terdapat bahan ritual antara lain “undung” (pedupaan);
satu baki yang berisi tujuh piring “sokkol” dengan bagian atas
masing-masing terdapat satu butir telur ayam kampung; satu baki berisi
tiga sisir pisang “manurung”, “tiraq”, dan “barangang”; dan satu baki
berisi lauk makanan: telur itik rebus, sambal goreng, gulai ayam, dan
“pupuq”.
Selain itu, ada dua “pindang matoa” (piring tua) yang
nantinya akan menjadi alat utama dalam acara “manguriq”. Masing-masing
di atas piring terdapat 1) “cucur”, “sokkol”, “gogos”, telur, “buras”,
dan “kaddo minynyaq”; 2) pisang “barangang”.
Bertempat di atas tempat tidur, dukun duduk di samping
kanan perempuan hamil yang berbaring sambil menekuk lutut. Sang
perempuan mengenakan pakaian adat Mandar dan sarung sutra. Di bawah
tubuh perempuan terdapat selendang kain berwarna hijau dan putih yang
didalamnya terdapat beberapa jenis tanaman/daun-daun.
Kemudian dukun membakar dupa. Pedupaan lalu
diputar-putar beberapa senti di atas perut. Pedupaan diletakkan di
sisinya untuk selanjutnya menangkap asap dupa lalu diusap ke perut
perempuan hamil.
Selanjutnya, “pammenangan” yang di atasnya terdapat
tujuh lilin yang ditanam di atas tumpukan beras diputar-putar di atas
perut lalu disentuhkan ke perut perempuan hamil. “Pammenangan”
diletakkan, mengambil sedikit beras yang ada didalamnya lalu disemburkan
ke atas perut perempuan hamil.
Setelah itu, “pindang matoa” yang berisi makanan
“manis dan berlemak” diletakkan ke perut hamil. Piring digoyang-goyang
sesaat dan dilepaskan. Sebab “bayi menahan” piring, kadang kala piring
tak bisa dilepaskan/diangkat. Agar piring bisa lepas, “si bayi dibujuk”
dengan cincin emas. Cincin emas dimasukkan ke dalam piring. Entah itu
sebabnya atau bukan, piring langsung bisa dilepas. Setelah itu piring
tua berikutnya, yang berisi pisang, juga diletakkan di atas perut.
Prosesnya sama.
Saat proses inti di atas selesai, dukun kembali
mengambil beras lalu ditabur di atas kepala perempuan. Kemudian
mengolesi keningnya dengan minya kelapa yang terdapat di piring kecil,
yang mana di dalam piring tersebut terdapat satu butir telur ayam
kampung.
Minyak juga diolesi ke perut perempuan hamil.
Pemijatan lembut kemudian dilakukan, dengan memberi tekanan-tekanan
tertentu di sekeliling perut.
Dukun kemudian mempersilahkan kerabat perempuan hamil
dan mertuanya (ibu laki-laki) untuk menyetuh perut dan mendoakan agar
ibu dan bayinya sehat dan selamat saat melahirkan nanti.
Setelah itu, dukun melanjutkan tugasnya dengan
menaburkan beras ke kepala dan perut peremuan. Seekora ayam hitam
“remaja” diambil lalu diarahkan ke kepala dan perut agar mematuk beras.
Saat ayam selesai mematuk beras, tahap ini selesai.
Dilanjutkan dengan tahap berikut, ujung selendang yang
berada di bawah tubuh perempuan hamil dipertemukan di atas perut untuk
selanjutnya ditarik-tarik, seolah-olah memperbaiki posisi bayi di dalam
kandungan.
Ketika proses di atas selesai, sang perempuan hamil
diminta segera bangun untuk meniup api lilin di atas “pammenangan”.
Setelah itu menuju teras.
Di teras, dukun mengambil air dari baskom yang berisi
ramu-ramuan untuk kemudian dimasukkan ke dalam mulut sang perempuan
hamil. Berkumur-kumur sebentar untuk kemudian dimuntahkan keluar.
Bersama suaminya, perempuan hamil kembali ke ruang
tamu, di mana hidangan makanan yang dibawa rombongan keluarga besar
laki-laki dihidangkan, khususnya yang berada di atas baki kuningan.
Selain baki kuningan yang isinya telah disebutkan sebelumnya di atas,
ada baki lebih kecil yang berada di atas “kappaq keqde” (baki berdiri,
atau ada kaki penyangganya), isinya “buah rangas”, yaitu satu roti besar
berbentuk ayam yang dikelilingi beberapa roti lebih kecil. Tampaknya
itu menyimbolkan anak-anak ayam.
Kepada mereka berdua dipersilahkan untuk memilih
makanan yang paling disukai. Saat itu, dipilih kurma dan apel. Juga,
memakan “buah rangas”. Setelah suami-isteri mengambil makanan
pilihannya, peserta upacara dipersilahkan untuk ikut menyantap.
Sang perempuan hamil kembali ke dalam kamar untuk
melanjutkan proses upacara, yaitu “macceraq” (“ceraq” = darah). Oleh
sang dukun, dia mengambil ayam yang dia gunakan tadi saat upacara
pijatan untuk kemudian membuat luka di jengger ayam. Beberapa tetes
darahnya dicampur dengan serbuk kapur di atas piring kecil. Setelah
diaduk atau terbentuk sebuah adonan, adonan tadi dioleskan ke kening dan
leher wanita hamil. Istilahnya “maccoqbo”. Tampak sang dukun juga
mengolesi keningnya dengan adonan tadi.
Setelah tamu-tamu pulang, perempuan hamil dimandikan
di teras rumah. Bahan mandi berupa air satu baskom yang didalamnya
terdapat “burabeq anjoro” (bunga bakal buah kelapa), irisan-irisan daun
pandan, dan “lopi-lopi” (bagian di atas pohon kelapa yang berbentuk
perahu).
Saat dimandikan oleh sando, perempuan hamil duduk di
atas satu tandan buah kelapa. Didekatnya terdapat dua tandan pisang.
Prosesi mandi dilakukan selama tiga hari yang berlangsung pagi hari,
sekitar jam delapan yang dipimpin dukun beranak. Bahan mandi tetap sama,
hanya dilakukan penambahan air sesaat sebelum kegiatan mandi dilakukan.
Sebelum mandi, juga dilakukan proses “manguriq” sebagaimana yang
dilakukan seperti pada hari pertama.
Sebab masih ada ritual di hari kedua (20 September)
dan ketiga (21 September), beberapa bahan makanan dan ritual tidak boleh
dipindahkan dari tempat upacara, seperti piring tua di dalam kamar
serta isinya (beberapa jenis makanan). Nanti setelah upacara selesai
baru bisa dikeluarkan atau dihabiskan (dimakan).
Ritual di hari kedua dan ketiga tidak ramai lagi,
hanya dihadiri oleh dukun, perempuan hamil, ibunya, beserta suami sang
perempuan hamil. Juga tak ada upacara makan-makan, hanya proses
“manguriq” dan mandi di teras.
Bila semua proses mandi selesai, “burabeq” kemudian
digantung di plafon teras rumah. Bagian ini dibiarkan terus. Nanti bisa
dilepaskan ketika bayi yang lahir nanti sudah mulai belajar berjalan.
Tapi kalau mau dibiarkan/dipasang terus, juga tak apa-apa.
Melahirkan
Kamis, 11 November 2010, dinihari, sekitar jam dua.
Darah keluar, menetes di paha. Tanda-tanda akan melahirkan pada sang ibu
hamil yang “diuriq” dua bulan lalu. Sebab berbagai alasan, lebih
memilih melahirkan di rumah sakit dibanding di rumah oleh bantuan dukun
beranak.
Salah satunya, sang ibu kecil tubuhnya. Tinggi kurang
155cm, pinggul kecil, dan hamil pertama. Khawatir kalau ada apa-apa,
misalnya butuh darah atau sulit untuk melahirkan. Kesimpulannya, pada
momen terpenting, bukan tenaga dukun yang dibutuhkan, tapi medis
(modern). Atas masukan dari bidan, yang datang sesaat setelah
diinformasikan padanya bahwa ada tanda melahirkan, sang calon ibu dibawa
ke Rumah Sakit Umum Majene. Bidan mengantar langsung bersama suaminya
yang kebetulan punya mobil.
Singkat kata, proses persiapan melahirkan hingga pasca persalinan (total empat hari), tak ada dukungan dari dukun beranak.
Memang beberapa jam setelah bayi dilahirkan, oleh sang
ibu perempuan hamil, mengirim potongan ari-ari ke Pambusuang agar bisa
segera ditangani oleh sang dukun. Saat tiba di Pambusuang, ari-ari
dimasukkan ke dalam panci beserta garam dan … Katanya, baru akan ditanam
kalau bayi telah balik ke rumahnya; setelah terpotong sisa ari-ari di
tali pusarnya.
Sehari setelah balik dari rumah sakit, Ahad, 16
November 2010, dukun beranak datang ke rumah “anaq sando-nya” (pasien)
untuk melanjutkan tugasnya, yaitu memandikan bayi dan ibunya selama tiga
hari berturut-turut. Idealnya mulai dimandikan sehari setelah
melahirkan, tapi karena lama di rumah sakit, proses awal dimandikan baru
dimulai lima hari kemudian.
Bayi dimandikan di atas lutut sang dukun, yang
dilentangkan ke depan. Di bagian bawah terdapat baki penampung air. Bayi
berbaring menghadap ke atas. Sang dukun melakukan pijatan-pijatan
lembut ke tubuh bayi, seperti perut, wajah, kepala, leher, gusi (mulut),
lengan, dan kaki. Setelah bayi, giliran ibu yang dimandikan dan memberi
pijatan pada perutnya.
Selesai melakukan ritus kepada bayi dan ibunya selama
tiga hari, sang dukun kembali lagi datang setelah potongan tali pusar
terlepas dari perut bayi, tepatnya 21 November 2010. Dukun melakukan
ritual penanaman potongan ari-ari bayi (yang dibawa dari rumah sakit
sesaat setelah bayi dilahirkan). Potongan tersebut disimpan dalam panci
tanah.
Panci ditanam di samping rumah (sebab rumah perempuan
yang habis melahirkan tak ada kolong rumah). Setelah itu diadakan
“baca-baca” di ruang tengah. Dihidangkan beberapa makanan, khususnya
“loka tiraq” (pisang ambon).
Setelah itu, diadakan pembakaran dupa di dalam kamar
bayi. Sebab sang bayi akan dinaikkan ke ayunan untuk pertama kali, dukun
melakukan ritual. Ayunan dia asapi dengan dupa setelah itu sang bayi
dinaikkan.
Adapun potongan ari-ari (kering) yang baru lepas dari
pusar bayi, disimpan oleh “anak sando”, sebagai obat bila suatu saat
sang bayi sakit.