Siklus Hidup
Haedar Nashir
Bilal bin Rabah melakukan iftirah jelang ajalnya tiba. “Aku sungguh bahagia karena tak lama lagi akan berjumpa dengan Rasulullah”, begitulah ujar muadzin dan sahabat terkasih Nabi itu dengan nada lirih, ketika dalam suasana kritis istrinya bertanya kenapa suaminya itu tampak bahagia menyongsong kematian.
Iftirah, ungkapan rasa bahagia di tengah kelaziman orang berduka. Bukan bahagia lahir laksana kesebelasan sepak bola melakukan selebrasi pascakemenangan, tapi sebuah kepasrahan batin sekaligus pengharapan positif menerima takdir Allah berupa kematian. Banyak sahabat dan para salaf al-shalih menempuh tangga kemuliaan jelang kematiannya, mengikuti jejak Nabi sang Panutan. Para sufi menyebutnya raja’, totalitas pengharapan menyambut ajal karena akan berjumpa dengan Tuhan (liqa’ ar-Rabah-u) di hari akhirat nan abadi.
Banyak orang mengambil hikmah dan kemuliaan dalam melewati titik kritis dalam perjalanan hidupnya, sebagaimana mungkin tak sedikit yang menyia-nyiakannya. Anak cucu Adam, siapa pun dia, memiliki siklus yang digariskan Tuhan: lahir, hidup, dan pada akhirnya mati. Tak akan pernah ada yang hidup kekal. Stefhen Hawking sang fisikawan terbesar di abad ini menjadi lebih religius dan menemukan Tuhan di balik kedahsyatan dan rahasia alam semesta yang dipelajarinya, setelah menapaki masa kritis dalam kehidupannya.
Iskandar Dzulqarnain, bahkan minta jasadnya diarak dengan kedua tangannya terbuka manakala dia meninggal, untuk mengingatkan kepada rakyatnya bahwa sang kaisar nan digdaya itu pada akhirnya harus berhadapan dengan kematian tanpa membawa perhiasan duniawi apa pun. Lalu, setiap orang ingin belajar hidup lebih bermakna, sesudah itu mati penuh arti. Bukan hidup yang sia-sia, sekadar jadi jasad yang berjalan. Kematian sebagaimana siklus lahir dan hidup, merupakan sesuatu yang sarat dengan rahasia Tuhan.
Detik ini kita berjumpa dengan orang atau sahabat yang begitu dekat, tapi sesaat kemudian dia dipanggil Tuhan. Beribu sebab lahiriah orang meninggal, tetapi takdir Allah tentang kematian pastilah tiba. Tuhan pasti mengambil yang satu itu tanpa bisa ditunda atau diakhirkan. Minta dispensasi sedetik pun untuk beramal saleh tak akan pernah diberikan, kendati dengan rengekan panjang dan memelas di hadapan Tuhan (QS. Al-Munafiqun/63: 10-11).
Dari Tuhan segalanya datang, kepada-Nya pula dikembalikan, suka-rela maupun terpaksa. Karenanya, tak akan pernah ada yang menentukan kepastian siklus hidup manusia, kecuali Tuhan sendiri. Sedigdaya Firaun sekalipun, yang mengaku dirinya tuhan (ana rabbu-kum al-’ala), akhirnya harus menempuh kepastian ajal, bahkan secara mengenaskan digulung Laut Merah.
Namun, hamba Tuhan di muka bumi ini warna-warni. Rupanya tak mudah bagi setiap orang untuk menemukan makna dan kemuliaan dalam menjalani siklus hidup yang niscaya itu. Ketika lahir memang tak ada pilihan. Tapi sewaktu menjalani kehidupan, terentang banyak jalan ikhtiar. Apakah beriman atau menjadi kafir. Memilih kebaikan atau keburukan. Menempuh jalan lurus atau kesesatan. Ingin meraih kemuliaan atau kehinaan.
Dan sejumlah pilihan-pilihan yang diberikan Tuhan untuk manusia menjalaninya dengan segala konsekuensinya. Dia ciptakan hidup dan mati untuk mengetahui siapa yang terbaik amalannya (QS Al-Mulk/67: 2). Lalu, tak sedikit yang menyia-nyiakannya. Hidup sekadar hidup, mati pun kehilangan arti. Mudah-mudahan kita tak termasuk dalam hidup nan hampa semacam itu.
Tuhan memang mewanti-wanti, bahwa kehidupan duniawi itu “mata’ al-gurur“. Sering jadi lahan permainan dan tipu-daya, kendati sejatinya dunia itu “majra al-akhirat” ladang menuju akhirat yang abadi. Sekali lengah, semuanya bisa berubah. Seharusnya jadi ladang yang subur, malah tandus dan digersangkan. Jadi pejabat dan pemimpin publik tak amanah. Jadi politisi dan pegiat politik, malah sibuk sendiri dan gemar muhibah ke luar negeri, hingga tak begitu hirau dengan rakyat yang diwakili.
Politik sekadar jadi jalan tol kekuasaan belaka, bahkan atasnama agama dan dakwah. Jadi penegak hukum malah memperkosa dan mempermainkan hukum. Jadi pengusaha merusak aset dan kekayaan negara. Pagar pun makan tanaman. Hidup laksana mengejar layang-layang putus. Siklus lahir, hidup, dan mati dilalui sebagai sebuah kerutinan dan mobilitas diri yang meluap-luap minus penghayatan. Sekali hidup sesudah itu mati tak berarti. Banyak hal bermakna berlalu begitu saja, tak membuahkan kemaslahatan, keberkahan, dan rahmat bagi semesta kehidupan. Bagaikan kera menimbang-nimbang buah kelapa, tak tahu cara memakannya.
Menempuh siklus hidup dengan makna dan kemuliaan konon tak mudah. Laksana aqabah, tangga pendakian. Siapa yang berhasil menempuhnya dengan penuh makna dan kemaslahatan, dialah yang menempuh kesempurnaan. Menurut Buya Hamka, manusia baru mencapai maqom kesempurnaan manakala melampaui tiga tahap dengan baik dan benar yaitu: hidup, berpikir, dan mati. Siapa pun tak akan lepas dari kehidupan yang niscaya itu. Makhluk Tuhan lainnya di muka bumi memang juga hidup dan mati, tapi tak bisa berpikir. Hidup dan mati hewan primata pun tak bermakna apa-apa kecuali sebatas jasad dan proses alamiah belaka, minus jiwa dan keadaban. Manusia sejati hidup dan mati secara berarti, bukan sebuah kesia-siaan.
Berpikir pun menjadi bagian dari perjalanan manusia yang hakiki dan penuh arti itu, yang menghasilkan ilmu dan peradaban. Bukan hidup asal hidup dan mati asal mati. Peradaban itulah yang membedakan manusia dari makhluk Tuhan lainnya. Tak berlebihan jika Rene Descartes (1596-1650) mengeluarkan adagium cogito ergo sum, “aku berpikir karena itu aku ada”. Tuhan bahkan lebih keras lagi ketika berfirman: “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun” (QS Al-Anfal/8: 22).
Berpikir hakiki tentu saja bukan sekadar kegiatan nalar-instrumental dan intelektual-akademik, tetapi juga tafakur dan tadabur atas segala ciptaan Allah, kemudian memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya atas spirit ibadah dan kekhalifahan di muka bumi ini. Berpikir yang melahirkan generasi manusia “insan kamil”, masyarakat “khaira ummah“, dan menebar rahmatan lil-’alamin bagi kehidupan kemanusiaan semesta.
Kita sungguh tak berharap, kian banyak manusia di muka bumi ini yang jasadnya hidup tapi mati kesadarannya yang hakiki. Tengoklah, di Musium Tahrir di Cairo tergolek mumi jasad-jasad raja Mesir kuno, termasuk Ramses II sang Firaun yang superdigdaya. Jasadnya diawetkan tapi tanpa ruh, minus jiwa. Kita pun tentu tak ingin banyak orang menjadi mumi di negeri ini, lebih-lebih yang memegang amanat publik. Jasadnya hidup namun rasa, pikir, dan nuraninya mati-suri. Manakala itu terjadi, betapa suramnya masa depan negeri dan dunia kemanusiaan. Bahkan, di yaum al-akhir kelak pun hidup tanpa sukma semacam itu akan lebih suram lagi sebagaimana diingatkan Tuhan:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-’Araf/7: 179).
Banyak “orang mati sebelum mati”, begitulah kata para sufi dan aulia. Jasad dan sosok tubuhnya sempurna, tapi mati-rasa, mati-pikir, dan mati-nurani. Menjadi manusia-manusia “al-basar“, makhluk jasadiah belaka. Tidak sebagai “al-insan“, hamba-hamba Tuhan yang mulia dan berperadaban agung. Umar bin Abdul Azis, khalifah nan arif di masa keemasan Islam, dikisahkan sering tak tidur malam dan menangis jelang kematiannya, karena tak ingin dirinya dituntut rakyatnya di akhirat kelak atas amanat yang tak tertunaikan.
Padahal Khaifah dari dinasti Ummayah yang satu ini dikenal sebagai pemimpin yang jujur dan amanah, sebagaimana Amirul Mukminin Umar bin Khattab semasa hayatnya. Memang, tak mudah menjalani siklus hidup penuh makna dan kemuliaan sebagaimana para penerus risalah Nabi yang utama itu. Tak mudah, bukan berarti tak dapat dilakukan. Kemuliaan dan kesempurnaan hidup adalah mutiara bagi siapa pun yang ingin meraihnya, kendati semua hal di dunia ini selalu terkena hukum nisbi dan tak sepenuhnya ideal. Satu hal yang jelas, jangan biarkan siklus hidup kehilangan makna dan keutamaan. Apalagi mati-suri.
(Haedar Nashir )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar