Siklus hidup manusia itu baru lengkap kalau seperti ini:
Lahir – bayi lucu sehat – anak cerdas menggemaskan – SD sebagai anak cerdas yang aktif olahraga dan les sana sini – SMP sebagai anak abege yang ga bandel – SMA sebagai remaja berprestasi – Kuliah di universitas ternama dengan IPK nyaris sempurna – Pacaran dengan yang cantik/ganteng, anak orang kaya, rajin ibadah, baik hati dan tidak sombong – Dewasa Muda yang penuh dengan semangat dan berpenampilan keren – kerja di perusahaan multinasional dengan bahasa pengantar bahasa asing dan gaji yang mencukupi kebutuhan 9dan keinginan) – menikah dengan restu orang tua dan kenyamanan ekonomi yang membuat potret keluarga seperti brosur bisnis perumahan – punya anak yang lucu sehat menggemaskan – membesarkan anak sampai bisa menjalani siklus sempurna juga – merayakan pernikahan perak – pernikahan emas – pernikahan berlian - meninggal di pelukan orang yang dicinta.
Tentu di antaranya bisa diselipkan aktif dalam kegiatan sosial dan jalan-jalan keliling negeri atau keluar negeri.
Katanya.
“Tapi hidup sempurna itu kan tidak ada!” keluh seorang teman sambil menghembuskan asap rokoknya. Dia sedang merasa lingkungannya mulai memberikan semacam hukuman sosial karena baru saja gagal menikah.
Aku hanya diam dan mendengarkan (sambil sibuk mengibas-ngibas asap rokok agar tak langsung ke muka ku)
“Sekarang gini. Siapa juga mereka berani menghina gw karena gw ga jadi nikah? Memangnya mereka ngerti rasa sakitnya! Gila ya? Manusia memang bisa jahat banget”
Aku masih diam, hanya membenarkan posisi duduk
“Loe lagi, gw cerita diem aja!”
“Loh, gw harus comment ya?” aku tersenyum. “Gini aja, selama apa yang mereka omongin ga bikin loe bisulan di muka, diemin aja. It won’t kill you.”
***
Manusia seringnya sibuk memenuhi standar ideal, benar, bagus berdasarkan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Dulu saat aku kecil, semuanya lebih sederhana. Standar baik itu adalah rajin ibadah, rajin belajar, jangan berbohong dan jangan menyakiti hati orang lain.
Semakin besar, semakin bertemu banyak orang, semakin banyak standar benar salah dari lingkungan. Setiap orang seperti mempunyai kriterianya sendiri atas sesuatu yang disebut baik, ideal dan pantas.
Norma juga bergeser, sesuatu yang dianggap tidak pantas dulu menjadi mudah ditemui sekarang. Kebebasan menjadi alasan untuk banyak perbuatan, tanggung jawab jadi seringnya terlupa tertutup oleh keinginan untuk terlihat bisa berbaur, melebur dan menyatu dengan lingkungan.
Kembali ke sahabat yang gagal menikah. Lingkungan melihatnya sebagai korban namun lalu bisa jadi sebagai yang pantas dikorbankan.
“Kasian banget ya tuh anak ga jadi nikah”
“Dia ga jadi nikah ya? itulah, makanya jangan terlalu lengket dulu sama lelaki, kalau ga jadi kaya’ gitu kan susah”
“Nah kan ga jadi nikah, gatel sih, kemana-mana udah berduaan. Liat tuh, tegoran tuh”
Betapa hebatnya sesuatu bisa berkembang dari kata-kata penyemangat menjadi senjata pembunuh rasa percaya diri.
Lalu bagaimana saat siklus hidup kita tak sesempurna yang seharusnya?
Pertama, tak usah sibuk mengikuti standar sempurna menurut semua orang. Bagaimana standar sempurna untukmu? Dan standar sempurna yang kamu percayai berdasarkan norma agama atau ajaran baku sopan santun adab beradab yang kamu kenal.
Kedua, hidup itu hidup, jalani saja. Kalau siklus harus terhenti di satu tempat, mengulang di tempat lain, berada di posisi puncak di satu siklus lalu meluncur turun di siklus lainnya, lalu kenapa? Itu kan (lagi-lagi) tidak membunuh kita. Kita masih tetap hidup, masih bangun, masih bisa berusaha.
Ketiga, percaya saja bahwa pada dasarnya manusia pasti akan bahagia. Pasti. Dan kebahagiaan itu kita sendiri yang punya syaratnya, standarnya, batasnya. Belajar saja bahagia untuk hal-hal sederhana supaya kita bisa lebih mencintai hidup kita.
Yang terakhir... belajar menerima kalau siklus sempurna itu tidak ada. Yang ada adalah belajar bersyukur dengan hidup yang tidak sempurna lalu membuatnya jadi lebih baik dan akhirnya bahagia.
Jadi siklus hidup manusia itu baru (terasa) sempurna kalau manusia yang menjalaninya tahu bagaimana caranya bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar